Senin, 10 Mar 2008 (Jawa Pos)
ahmadsahidah
Oleh Ahmad Sahidah
Kemenangan Barisan Nasional (BN) pada pemihan umum ke-12 telah diprediksikan sebelumnya. Mesin politik, media, dan uang yang lebih kuat menempatkan UMNO, MCA, dan MIC di atas seteru politiknya, PKR, PAS, serta DAP dalam Barisan Alternatif (BA). Namun, ramalan bahwa BA akan memperoleh suara signifikan juga terbukti. BA sekarang mengantongi modal untuk menggugat dominasi BN di parlemen.
Lalu, setelah kemenangan BN itu, apa yang bisa dilakukan kaum Melayu di tengah makin menguatnya tuntutan kesetaraan kaum Tionghoa dan India? Mungkinkah Malaysia sebagai "bangsa" bisa diwujudkan setelah ketiga etnik tersebut berhasil membangun koalisi, sedangkan di barisan seterunya juga bergabung komposisi yang sama?
Memang, di kalangan elite, kita akan mudah melihat kekompakan para pemimpinnya. Tapi, di akar rumput, ada tembok tebal yang menghalangi mereka untuk berbaur. Perbedaan ketiga kelompok tersebut sangat mencolok karena berkaitan dengan ras, agama, bahasa, serta budaya.
Syafi’i Ma’arif, mantan ketua umum Muhammadiyah, pernah menulis di harian Republika (14/7/07) bahwa di tengah keberhasilan kehidupan ekonomi Malaysia, apakah sebagai bangsa mereka juga berjaya? Pertanyaan retorik yang diajukan sebagai ucapan selamat kemerdekaan ke-50 untuk negeri tetangga.
Secara politik, hubungan pragmatis antaretnik, Melayu, Tionghoa, dan India, berjalan baik. Kekompakan koalisi BN yang memerintah sejak awal kemerdekaan mampu menempatkan negeri jiran itu diperhitungkan sebagai negara yang melaju pesat. Kemajuan industri di bidang pariwisata, perminyakan, elektronik, dan perkebunan patut ditiru negara lain.
Tapi, apakah keberhasilan itu akan melahirkan integrasi etnik dalam kehidupan sosial? Persoalan tersebut telah dipikirkan para sarjana sejak sebelum kemerdekaan. Institut Integriti Malaysia merupakan salah satu lembaga yang dibangun untuk mewujudkan warga negara yang mempunyai integritas, daya tahan, dan penghayatan terhadap nilai-nilai universal. Demikian pula, Latihan Khidmat Negara yang menyerupai wajib militer merupakan ikhtiar untuk mengintegrasikan berbagai kaum dalam kesadaran berbangsa dan bernegara.
Dunia Baru
Jika kegagalan Barisan Nasional dianggap tsunami bagi partai berkuasa, tidak demikian bagi rakyat Malaysia. Mungkin benar apa yang dikatakan Shamsul Amri Baharuddin dalam wawancara televisi TV3 sebelum pemilu bahwa Abdullah Badawi telah membuka keterbukaan dan harus menanggung risiko dengan makin beraninya kelompok oposisi berteriak.
Namun, Badawi telah berada di jalan yang benar. Sebab, kata analis politik Universiti Kebangsaan Malaysia itu, sudah waktunya pemerintah membuka keran kebebasan. Jika tidak, ia akan berbahaya karena kelompok penentang akan makin tak terkendali.
Bagi saya, hasil pemilu kali ini bisa dikatakan menjadi kemenangan Abdullah Badawi pribadi yang telah membuka pintu demokrasi, sekaligus kemenangan rakyat yang telah membalikkan kepongahan koalisi berkuasa dengan tidak menyisakan sedikit pun media cetak dan massa bagi partai lawan. Jelas-jelas, rakyat tak lagi bisa dicekoki kisah keberhasilan BN tanpa memberikan tempat yang adil bagi oposisi, yang juga sebagai warga Malaysia yang sah.
Dengan kemenangan meyakinkan oposisi di sejumlah negara bagian, peta politik negeri tetangga akan berubah. Setidaknya, itu dimulai dengan perubahan drastis pemberitaan surat kabar yang dikuasai pemerintah dan kroninya. Mereka memberikan ruang yang lebih besar untuk oposisi dan memuat pengakuan akan kekalahannya. Demikian pula, televisi turut merayakan kemenangan oposisi, meski dengan jatah penayangan yang terbatas.
Dengan terlepasnya empat negara bagian kepada pihak oposisi, komposisi politik akan berubah total. Dua negeri bagian, Selangor dan Penang, merupakan pusat ekonomi yang menyangga pertumbuhan negeri jiran tersebut. Keduanya telah dikuasai pembangkang, yang tentu akan memaksa partai berkuasa nanti untuk berbagi kue pembangunan. Sementara Kedah dan Perak mencerminkan representasi suara Melayu dan Tionghoa.
Namun, kendali tetap berada di tangan Melayu. Bahkan, Anwar Ibrahim pun tidak bisa seenaknya mewujudkan ide progresifnya tanpa memedulikan konstituen Melayu yang masih ingin mengekalkan statusnya sebagai pemilik Malaysia, sebagaimana telah dimaktubkan dalam konstitusi dan dasar negara.
Jauh dari hiruk-pikuk hasil pemilu, sebenarnya kaum Melayu menghadapi dilema besar. Keistimewaan yang disandang mereka sejak kemerdekaan senantiasa digugat puak lain sejalan dengan makin terbukanya kebebasan.
Sementara di sisi lain, Melayu muslim masih mengandaikan bahwa negara Islam merupakan alternatif untuk membangun negara yang lebih sejahtera, adil, dan aman. Tak disangkal, politik identitas telah mengakar dan menghambat integrasi sejati. Itulah tantangan yang perlu mendapatkan perhatian seluruh unsur masyarakat pada masa mendatang.
Akhirnya, di tengah kekalahan memalukan BN, sebenarnya ini adalah berkah tersembunyi bagi Malaysia. Sebagai negara yang mencanangkan diri sebagai negara maju pada 2020, negara tetangga itu telah memulai sebuah langkah tepat dengan "lahirnya" perimbangan kekuasaan.
Diharapkan, secara perlahan, kekangan berekspresi dan berorganisasi akan dilonggarkan. Tak ada lagi penguasaan media yang berlebihan, sehingga kontrol dari publik bisa dilakukan dan manipulasi oleh elite makin tergerus. Selamat datang Malaysia baru!
Ahmad Sahidah, Graduate Research Assistant dan kandidat doktor ilmu humaniora Universitas Sains Malaysia
APA MACIAM... SUDAH NAK RUNDING????
3 hours ago
0 comments:
Post a Comment